Indonesia Terima Pembayaran Emisi 61,5 Juta Ton, LDII Dorong Transparansi dan Pemanfaatan bagi Masyarakat

LINES : Ilustrasi Perdagangan Karbon

Jakarta (25/6) — Indonesia mulai menuai hasil nyata dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) selama beberapa tahun terakhir. Kementerian Kehutanan mencatat, sebanyak 61,5 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) telah berhasil memperoleh pembayaran berbasis hasil (result-based payment/RBP) atas penurunan emisi yang terjadi selama periode 2013–2020.

“Ini adalah hasil dari kerja keras nasional dalam pengendalian emisi, yang kita bagi dalam dua fase pelaporan, yakni tahun 2013–2017 dan 2017–2020,” jelas Haruni Krisnawati, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim dalam sebuah diskusi daring, Rabu (11/6).

Di periode pertama, penurunan emisi mencapai 244,89 juta ton CO2e. Namun dari angka itu, baru sekitar 20,25 juta ton yang memperoleh pembayaran dari Green Climate Fund dan 11,23 juta ton dari kerja sama dengan Norwegia. Ini berarti baru 12,85 persen dari hasil tersebut yang dikonversi menjadi nilai ekonomi. Pada fase kedua, penurunan emisi lebih besar, yakni 577,45 juta ton, namun yang telah mendapatkan pembayaran baru 30 juta ton — sebagian besar masih dari kerja sama dengan Norwegia.

Kemitraan dengan Norwegia sendiri memberikan komitmen pendanaan sebesar 216 juta dolar AS, setara dengan pembayaran untuk 43,2 juta ton CO2e. Haruni menyebutkan bahwa masih terdapat ratusan juta ton emisi yang belum dimonetisasi. “Ini merupakan peluang besar. Emisi yang belum dibayar dapat menjadi modal dalam perdagangan karbon maupun kontribusi lainnya di masa depan,” tambahnya.

Menanggapi capaian tersebut, Siham Afatta dari Departemen Litbang, IPTEK, SDA, dan Lingkungan Hidup DPP LDII mengapresiasi keberhasilan Indonesia. Namun, ia menekankan pentingnya pemanfaatan dana RBP secara langsung untuk kesejahteraan masyarakat, terutama warga sekitar hutan. “Salah satunya melalui penguatan Program Kehutanan Sosial, agar masyarakat bisa mengelola hutan sekaligus meningkatkan taraf hidupnya,” ujarnya.

Sebagai analis kebijakan, Siham menambahkan bahwa keberhasilan program penurunan emisi sangat bergantung pada kerja sama internasional dalam aspek pembiayaan dan peningkatan kapasitas teknis. Ia menekankan pentingnya transparansi, seperti sistem data daring yang terbuka, pemanfaatan teknologi satelit untuk pemantauan hutan secara real-time, serta audit independen yang terverifikasi untuk mendukung kepercayaan publik dan internasional.

“Sinergi antara pemerintah, lembaga internasional seperti UN-REDD, negara donor seperti Norwegia, dan masyarakat sipil harus diperkuat. Jika ini konsisten dijaga, skema pembayaran berbasis hasil akan berkelanjutan dan semakin luas manfaatnya,” tegasnya.

Saat ini, pemerintah juga mempercepat keterlibatan sektor kehutanan dalam mekanisme perdagangan karbon global. Setelah peluncuran Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) pada awal 2025, sektor energi menjadi pionir, namun sektor kehutanan diharapkan segera menyusul. “Potensi ekonomi dari perdagangan karbon sektor kehutanan bisa mencapai Rp1,6 hingga Rp3,2 triliun per tahun. Ini peluang besar yang harus dimanfaatkan,” tutur Siham.

Ia juga menyarankan agar sektor swasta yang berperan dalam pengurangan emisi mendapatkan berbagai insentif, seperti keringanan pajak untuk pembelian teknologi ramah lingkungan, subsidi untuk investasi hijau, dan akses kredit berbunga rendah bagi proyek penurunan emisi. “Dengan insentif yang tepat, sektor swasta bisa lebih aktif, bahkan memperoleh keuntungan dari penjualan kredit karbon,” jelasnya.

Di akhir pernyataannya, Siham melihat bahwa capaian pengurangan emisi lebih dari 800 juta ton CO2e yang belum mendapatkan imbal hasil bisa menjadi kekuatan tawar dalam forum-forum iklim global. “Sektor kehutanan Indonesia sangat strategis. Ini bisa menjadi modal diplomasi untuk meraih dukungan finansial, alih teknologi, dan pengakuan internasional,” ujarnya dengan optimis.

Dengan potensi yang besar ini, Indonesia memiliki peluang emas untuk menunjukkan komitmennya dalam aksi iklim global sembari memastikan bahwa hasilnya benar-benar memberikan dampak nyata bagi masyarakat, khususnya yang berada di kawasan hutan.

sumber : https://www.ldii.or.id/indonesia-kantongi-pembayaran-emisi-615-juta-ton-ldii-dorong-transparansi-dan-manfaat-untuk-masyarakat/